Senin, 27 Mei 2013

Hari Setelah Lusa

Belakangan ini Malang sering muram, Ra. Hampir tiap hari langit menunjukan sifat bipolarnya. Sangat cerah di pagi hari, lalu menumpahkan semua airnya ketika sore datang. Air yang membuat banyak tempat tergenang. Jalanan dan gang-gang di perkampungan, sepi. Orang-orang di kampungku menjelma menjadi kaum pemalas. Berlindung didalam kamar dengan remang lampu kuning lima watt dan selimut tebal. Inilah yang mereka bilang sebagai kenyaman mutlak.
Namun, kali ini aku bukan ingin menceritakan tentang orang-orang itu, Ra. Ini cerita tentang aku dengan bahasa negeriku

Siang tadi, aku memilih menjadi kaum yang lain. Tapi bagaimanapun, hujan tetap memaksaku untuk berdiam diri dirumah. Aku mengambil buku yang sudah beberapa bulan belum sempat kubaca. Tapi mataku menolak. Saat ini aku sedang malas membaca. Akhirnya, teka-teki silang di salah satu halaman koran lah yang memenangkan perhatianku.
Disini hal menariknya, Ra.
Sebuah pertanyaan untuk kolom mendatar yang maksudnya berbunyi “Apakah nama sebutan untuk hari setelah lusa?”. Aku bengong. Hari setelah lusa? Setahuku, selama ini jarang sekali ada yang memberi sebutan untuk hari setelah lusa. Biasanya orang akan menyebutkan langsung nama harinya, atau “hari keberapa” hari tersebut dari hari sekarang. Contohnya begini, Ra. Jika sekarang adalah hari senin, dan aku membuat janji denganmu setelah lusa, aku akan mengatakan “Kita ketemu lagi hari kamis ya, Ra” atau “Kita ketemu tiga hari lagi ya, Ra”. Ini jelas, karena aku belum tahu apa sebutan untuk hari setelah lusa. Dan tak yakin sebutan itu ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Kuakui, aku adalah orang Indonesia yang belum menguasa semua kosakata bahasa negeriku sendiri. Aku lebih sering menggunakan bahasa-bahasa serapan asing, bahkan menggunakan bahasa asing untuk menjelaskan maksudku. Bukannya tak cinta bahasa negeri. Namun, perbendaharaan kataku aku kumpulkan dari hasil komunikasiku dengan semua orang yang penah aku temui. Jika ada kosakata yang tak kumengerti, artinya aku belum pernah berkomunikasi dengan kosa kata itu.
Setelah tanya kesana kemari. Bahkan sempat juga aku mengintrogasi mbahGoogle. Akhirnya aku baru tahu kalau ternyata sebutan hari setelah lusa itu ada. Kawan ayahku dari Indonesia bagian timur menyebutnya dengan “Tulat”. Dan hari setelah Tulat adalah “Tubin”. Saat ini kau pasti bengong, Ra. Ternyata ada sebutan itu dalam kamus bahasa kita. Awalnya aku mengira ini adalah sebutan dari bahasa daerah. Tapi setelah mengeceknya di KBBI, ternyata Tulat dan Tubin memang sudah ditetapkan sebagai bahasa baku, Ra. Walaupun aku masih tak yakin presiden pun tahu kata ini. Buktinya dalam pidato-pidato kenegaraan, hampir tak pernah aku mendengar kata Tulat dan Tubin. Bahkan di koran-koran pun juga tak ada.
Ra, ini aku ceritakan agar nantinya kamu tahu, jika masih banyak kosakata dalam bahasa kita yang bisa kamu pakai. Termasuk untuk sebutan hari setelah lusa. Tulat dan Tubin. Aku tak ingin kelak makin sedikit kawan-kawan dari generasiku dan generasimu yang mengenal bahasa asli negerinya. Aku juga tak ingin nanti orang kita lebih mengenal email daripada surel, download daripada unduh, trialdaripada percobaan, dan masih banyak kosakata lain yang orang kita lebih mengenal versi asingnya daripada versi asli bahasa negeri.
Dan saat inilah, Ra. Orang-orang di Negeriku menjelma menjadi kaum absurd. Menyerukan bahasa yang satu, bahasa Indonesia, namun lebih nyaman menggunakan bahasa serapan. Lebih mudah dipahami, katanya. Ini lah yang yang mereka bilang sebagai kenyaman mutlak, dalam berbahasa.
Mungkin besok atau lusa kita lebih memahami kosakata-kosakata kita sendiri. Atau tulat.

Minggu, 26 Mei 2013

Lampu-lampu Terbang Yogyakarta

Ra, Ini cerita tentang lampu-lampu terbang.
Aku belum pernah nonton film Arisan. Padahal seorang kawan berulangkali menceritakan film ini, dan memaksaku untuk segera menontonnya. Entah dibagian film yang mana, terdapat  scene  yang mengambil latar belakang brobudur di malam waisak. Ribuan lampu-lampu terbang dengan nyala api diterbangkan bersamaan dengan mengangkasanya harapan-harapan baru, dilangit malam borobudur. Sangat indah katanya. Namun, hingga sekarang aku tak sempat menonton film ini. Karena setiap kali aku ingat, beberapa menit setelahnya aku lupa. Tak apa lah. Mungkin lain kali. Menikmati lampu-lampu terbang di langit malam borobudur, dengan inderaku sendiri. Dibawah langit Jogja yang sebenarnya. Walaupun aku belum juga menonton Arisan.
Dan, adalah waktu yang sangat tepat untuk menikmati sabtu malam di Jogja. Membiarkan angin malam dan gerimis tipis berlomba untuk menusuk pori-pori.  Mempersilahkan langit jogja menyajikan purnamanya untuk dinikmati. Bersamaan dengan itu, ratusan pasang tangan siap menerbangkan lampu-lampu terbang dari kertas dengan nyala api. Menyerukan keindahan dan kedamaian dalam waisak.
Bisa jadi karena film Arisan itulah aku disini.
***
Subuh tadi, ra, aku dan pacarku, tiba di jogja. Berbarengan dengan kepulangan para jamaah sholat subuh di mushola dekat stasiun Tugu. Dengan langkah terburu-buru kami segera menuju rumah teman pacarku di daerah Prawirotaman untuk meminjam sepeda motornya. Bagaimanapun, kami harus tiba di lokasi candi Mendut sebelum jam 6 pagi, atau kami harus bersabar untuk berjibaku dengan kemacetan perjalanan.
Kami sampai dilokasi candi Mendut jam 8 pagi. Rupanya tak hanya kami yang ingin menikmati keindahan malam waisak di Borobudur. Terbukti dari ratusan kepala yang aku temui disini. Mereka tampak siap dengan berbagai perlengkapannya. Yak, kami memang sudah siap berpetualang.
Yang kami lakukan pertama kali adalah memarkir motor kami di dekat lokasi candi mendut. Oia ra, ongkos parkir disini bisa sampe 5000-1000 rupiah. Aku melongo. Pacarku menyarankan untuk ikhlas. Setelah malam ini akan terbayar, katanya. Kami kemudian mengikuti prosesi dari Candi Mendut hingga Candi Borobudur yang berjarak kurang lebih 4 Km dengan berjalan kaki. Jauh. Ya jauh!. Tapi dongkol tadi akhirnya hilang dengan sendirinya karena terhibur oleh para peserta kirab, yang lebih mirip pawai. Tiap peserta, selain para Bikhu, memakai kostum menarik, seperti kostum Ti Pat Kai, Wu Ching, dan Bikhu Tong dalam film bersambung Kera Sakti. Kata “jauh” yang sempat ada diotak ku rupanya kalah saing dengan kesibukan indera ku menangkap kegembiraan pada tiap wajah yang ada disekitar.
Dan jam 12.30 perjalanan kirab ini berakhir di pelataran gerbang candi Borobudur. Waktu bebas untuk kami para pengunjung. Karena Menurut jadwal dari WALUBI, setelah prosesi tadi, merupakan waktu bagi para Bikhu dan umat Budha untuk menjalankan ritual keagamaan mereka. Acara proses penerbangan lampion baru akan dimulai jam 7 malam nanti. Di waktu inilah kami dapat sedikit beristirahat mengumpulkan tenaga untuk mengikuti prosesi berikutnya hingga dini hari nanti. Ra, aku tak sabar menunggu malam.
Jam 7 malam, waktu yang kami tunggu. Berjubel memasuki area Borobudur. Biaya masuknya 30.000 rupiah perkepala, ra. Kami mengikuti seluruh rangkaian prosesi, mendengarkan petuah-petuah dan ajaran Budha tentang kedamaian, hingga tiba waktu untuk mengangkasakan lampu-lampu terbang dengan nyala api. Kami dan para pengunjung lain mengambil tempat. Berjejal dengan puluhan atau bahkan ratusan fotografer dari berbagai jenis. Mulai dari fotgrafer kece ala Arbain Rambey, dengan perangkat kamera profesionalnya, hingga fotogafer dadakan yang yang terlihat sangat repot menenteng kamera  tablet mereka. Dan jenis kedua ini yang paling banyak.
Panitia menawarkan kepada kami sebuah lampu kertas untuk diterbangkan. Harganya 100.000 rupiah ternyata. Dengan alasan menghemat uang saku, kami urungkan niat menerbangkan lampion sendiri. Sedikit menyesal aku ra. Menggerutu mengapa sebelumnya aku tidak menabung lebih banyak. Menyisihkan dua lembar lima puluh ribuanku untuk kutukarkan dengan lampion itu. Namun, tahukah kamu, ra, apa yang dibisikkan pacarku untuk menghiburku?
“Tak perlu merasa harus menyalakan, karena dengan menonton saja kita akan dibuat takjub akan keindahannya”
Okey, dengan menontonnya saja aku sudah mengakui, aku takjub dengan keindahannya. Lampu-lampu terbang itu lampion. Sama seperti yang diceritakan temanku dengan  film Arisannya.
Awalnya, beberapa lampion dari atas panggung mengawali ribuan lampion Waisak lainnya terbang ke atas langit-langit Candi Borobudur. Lalu disusul oleh ribuan lampion lainnya dan terus akan disusul hingga habis nanti pada dini hari. Ribuan doa dan harapan akan terbang bebas bersama ribuan lampion Waisak. Efek dramatis mucul ketika terdengar nada dari ribuan lampion melayang di atas kepala Candi Borobudur. Aku  menangis haru. Tercengang. Entah kiasan apalagi yang dapat menggambarkanya saat menyaksikan momen yang menakjubkan itu.
Begitulah ra, mungkin ini yang sering aku dengar. Tentang keindahan sebuah malam di tanah Jogyakarta. Malam purnama, lampu-lampu terbang dengan nyala api, kabut tipis, kedamaian manusia, telah menyamar menjadi opiumMembius tiap pasang mata untuk takjub dengan romansa keindahannya.
Ini berbeda, ra. Dua hari lalu, hanya jika sepasang mempelai tidak merencanakan pernikahannya di tanggal 23 dan 24, dan sebuah keluarga yang memiliki usaha katering tidak perlu repot-repot untuk terlibat dalam menyediakan makanan, sehingga seorang anak laki-laki tidak merasa perlu untuk membantu keluarganya dan memilih menemaniku menikmati romansa lampu-lampu terbang dengan nyala api, di pelataran Borobudur.
Tapi nyatanya, malam ini aku disini, ra. Terjebak didalam kubikal kamar kontrakan yang mengharuskanku untuk tetap diam. Karena diluar, malam sedang hujan. Sehingga tak ada lampu-lampu terbang dengan nyala api, yang harus kulepaskan.
Foto diatas juga bukan punyaku, ra. Itu kuambil dari http://mylittlecanvas.files.wordpress.com. Mungkin penulisnya pernah kesana.

Selasa, 14 Mei 2013

Permulaan



Beberapa waktu lalu, terdengar kabar bahwa salah satu kawan kami, sesama Program Studi, dinyatakan hilang terseret ombak. Semasa dia hidup, hingga jasadnya ditemukan dan kemudian dimakamkan, selain jiwa dan fisiknya yang hilang, aku menyadari telah kehilangan banyak hal. Betapapun kami berada di labirin yang sama, program studi yang sama, dan hanya berbeda kelas, ternyata masih banyak hal yang tidak ku ketahui tentang dirinya, selain namanya.

Rasa penasaran kemudian menarik ku untuk mencari tahu sedikit tentang kawan kami ini. Beruntung dia masih punya beberapa akun jejaring sosial yang sedikit banyak menggantikan proses perkenalan yang belum sempat kami lakukan sebelumnya.
Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba aku teringat kalimat seorang kawan pada suatu perbincangan yang begitu membekas diingatan ku,
“ Jika nanti kita mati, tak ada lagi yang dapat diingat selain kebaikan, keburukan dan apa yang kita tulis.”
Saat ini memang belum ada yang pernah ku hasilkan untuk kalian baca. Menulis untuk diriku sendiri. Aku terlanjur merasa nyaman dengan ke-Anti-Sosialan dan mengorbankan beberapa akun jejaring sosial yang tidak terawat untuk beberapa bulan. Melakukan segala hal untuk menutup diri dari dunia dan menjauhi celah-celah ketenaran. Aku memang tidak ingin dikenal. Menghasilkan pengalaman-pengalaman menakjubkan dan menyimpannya sendiri. Walaupun akhirnya aku juga tersadar, bahwa kalau pun aku melakukan hal besar, disuatu tempat, Google Earth tak akan menemukan ku.
Namun, begitulah, selalu ada hal yang kita abaikan karena menganggapnya tidak begitu penting pada awalnya.
Hingga pagi ini, aku meniatkan untuk mulai bercerita kepada siapa saja, apa saja tentang yang ku lihat dan ku dengar dengan segenap panca indera. Aku ingin menyediakan banyak cerita untuk kawan-kawan. Hingga nanti, jika terasa hidup tak lagi lama, ada yang dapat mereka tau tentang ku. Menggantikan peroses perkenalan yang belum sempat kami lakukan sebelumnya.
Dan ini permulaannya…
Walaupun aku masih sedikit tidak ingin dikenal.