Belakangan ini Malang sering muram, Ra. Hampir tiap hari langit menunjukan sifat bipolarnya. Sangat cerah di pagi hari, lalu menumpahkan semua airnya ketika sore datang. Air yang membuat banyak tempat tergenang. Jalanan dan gang-gang di perkampungan, sepi. Orang-orang di kampungku menjelma menjadi kaum pemalas. Berlindung didalam kamar dengan remang lampu kuning lima watt dan selimut tebal. Inilah yang mereka bilang sebagai kenyaman mutlak.
Namun, kali ini aku bukan ingin menceritakan tentang orang-orang itu, Ra. Ini cerita tentang aku dengan bahasa negeriku
Siang tadi, aku memilih menjadi kaum yang lain. Tapi bagaimanapun, hujan tetap memaksaku untuk berdiam diri dirumah. Aku mengambil buku yang sudah beberapa bulan belum sempat kubaca. Tapi mataku menolak. Saat ini aku sedang malas membaca. Akhirnya, teka-teki silang di salah satu halaman koran lah yang memenangkan perhatianku.
Siang tadi, aku memilih menjadi kaum yang lain. Tapi bagaimanapun, hujan tetap memaksaku untuk berdiam diri dirumah. Aku mengambil buku yang sudah beberapa bulan belum sempat kubaca. Tapi mataku menolak. Saat ini aku sedang malas membaca. Akhirnya, teka-teki silang di salah satu halaman koran lah yang memenangkan perhatianku.
Disini hal menariknya, Ra.
Sebuah pertanyaan untuk kolom mendatar yang maksudnya berbunyi “Apakah nama sebutan untuk hari setelah lusa?”. Aku bengong. Hari setelah lusa? Setahuku, selama ini jarang sekali ada yang memberi sebutan untuk hari setelah lusa. Biasanya orang akan menyebutkan langsung nama harinya, atau “hari keberapa” hari tersebut dari hari sekarang. Contohnya begini, Ra. Jika sekarang adalah hari senin, dan aku membuat janji denganmu setelah lusa, aku akan mengatakan “Kita ketemu lagi hari kamis ya, Ra” atau “Kita ketemu tiga hari lagi ya, Ra”. Ini jelas, karena aku belum tahu apa sebutan untuk hari setelah lusa. Dan tak yakin sebutan itu ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Kuakui, aku adalah orang Indonesia yang belum menguasa semua kosakata bahasa negeriku sendiri. Aku lebih sering menggunakan bahasa-bahasa serapan asing, bahkan menggunakan bahasa asing untuk menjelaskan maksudku. Bukannya tak cinta bahasa negeri. Namun, perbendaharaan kataku aku kumpulkan dari hasil komunikasiku dengan semua orang yang penah aku temui. Jika ada kosakata yang tak kumengerti, artinya aku belum pernah berkomunikasi dengan kosa kata itu.
Setelah tanya kesana kemari. Bahkan sempat juga aku mengintrogasi mbahGoogle. Akhirnya aku baru tahu kalau ternyata sebutan hari setelah lusa itu ada. Kawan ayahku dari Indonesia bagian timur menyebutnya dengan “Tulat”. Dan hari setelah Tulat adalah “Tubin”. Saat ini kau pasti bengong, Ra. Ternyata ada sebutan itu dalam kamus bahasa kita. Awalnya aku mengira ini adalah sebutan dari bahasa daerah. Tapi setelah mengeceknya di KBBI, ternyata Tulat dan Tubin memang sudah ditetapkan sebagai bahasa baku, Ra. Walaupun aku masih tak yakin presiden pun tahu kata ini. Buktinya dalam pidato-pidato kenegaraan, hampir tak pernah aku mendengar kata Tulat dan Tubin. Bahkan di koran-koran pun juga tak ada.
Ra, ini aku ceritakan agar nantinya kamu tahu, jika masih banyak kosakata dalam bahasa kita yang bisa kamu pakai. Termasuk untuk sebutan hari setelah lusa. Tulat dan Tubin. Aku tak ingin kelak makin sedikit kawan-kawan dari generasiku dan generasimu yang mengenal bahasa asli negerinya. Aku juga tak ingin nanti orang kita lebih mengenal email daripada surel, download daripada unduh, trialdaripada percobaan, dan masih banyak kosakata lain yang orang kita lebih mengenal versi asingnya daripada versi asli bahasa negeri.
Dan saat inilah, Ra. Orang-orang di Negeriku menjelma menjadi kaum absurd. Menyerukan bahasa yang satu, bahasa Indonesia, namun lebih nyaman menggunakan bahasa serapan. Lebih mudah dipahami, katanya. Ini lah yang yang mereka bilang sebagai kenyaman mutlak, dalam berbahasa.
Mungkin besok atau lusa kita lebih memahami kosakata-kosakata kita sendiri. Atau tulat.